Di jaman yang serba modern ini, tentunya istilah nge-geng sudah tak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan remaja. Entah itu di lingkungan sekolah, di rumah, atau di mana pun, yang namanya teman se-geng itu pasti ada saja. Dengan mereka, kita bisa kumpul, main, belajar, dan juga jalan - jalan bareng ke mana saja. Kita pun bisa mencurahkan seluruh perasaan kita ke mereka tanpa rasa sungkan. Hidup pun jadi lebih berwarna dan tidak membosankan bersama mereka.
Sedihnya, sekarang banyak geng yang salah kaprah. Banyak geng yang dibentuk hanya untuk sekadar gaya - gayaan, bahkan ada pula yang menggunakannya untuk melegalkan perilaku kekerasan. Wualah...
Seorang psikolog perkembangan remaja Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat, Esri Rahayu Astuti pun membenarkan fenomena geng remaja yang sarat kekerasan ini. Ia pun mengatakan bahwa fenomena ini terjadi bukan hanya di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota kecil lain di Indonesia. Sangat menyedihkan.
Bicara soal geng, menurut Esri, pada usia remaja, kebutuhan untuk nge-geng itu lumrah. ”Bahkan, buat sebagian orang jadi penting karena pada usia remaja, mereka butuh pengakuan. Geng inilah yang membuat mereka bisa tampil dan diakui, sekaligus untuk menunjukkan keberadaan mereka di lingkungannya. Punya geng jadi cara supaya mereka dianggap gaul,” kata Esri melanjutkan penjelasannya.
Selain itu, nge-geng juga bisa dijadikan sebagai sarana positif bagi remaja untuk berbagi masalah yang mereka hadapi. Selama kegiatan yang dilakukan positif, pada usia dewasa nanti, kebiasaan itu akan berhenti dengan sendirinya karena faktor usia. ”Dengan bertambahnya usia, kebutuhan nge-geng akan hilang karena rasa percaya diri mereka sudah kuat,” tambahnya.
Sayangnya, kalau sudah nge-geng, kadang kala para anggotanya jadi punya nyali ngelakuin dan nyobain apa saja. ”Kalau mereka nyoba hal - hal positif sih bagus. Tapi kalau mereka nyoba hal - hal negatif, ini salah besar.”
Hal positif, contohnya belajar berkelompok dan yang negatif, contohnya bersama - sama nyobain minuman keras, narkoba, atau malak.
”Kalau yang negatif-negatif ini enggak segera dihentikan, bisa keterusan. Apalagi kalau anggota gengnya dapat keuntungan dari perilaku negatif itu. Misalnya, malak biar punya duit,” tambahnya.
Bedanya sama geng yang berkegiatan positif, perilaku anggota geng yang negatif itu kalau dibiarkan tanpa kendali bisa keterusan sampai anggotanya berusia dewasa lho! Mau tahu jadi apa kalau keterusan? Ya jadi preman, kata Esri.
Maka, bagaimana pun pilihan kita dalam hal nge-geng atau memilih teman - teman yang sesuai itu, ada di tangan kita sendiri. Kita harus selalu waspada dan pilihlah teman yang memang memberikan pengaruh positif bagi kita. Apa iya sih kita mau punya masa depan sebagai preman? Enggak banget lah ya?! Jadi, mumpung hidup kita masih panjang dan masih bisa ketemu teman - teman baru, enggak perlu buru-buru bikin geng. Ya kan kawan - kawan semuanya?
0 komentar:
Posting Komentar